Sejak
terbit pertama kali pada 2009 yang lalu, sudah banyak pembaca yang meminta atau
mengusulkan agar novel Akatsuki diadaptasi menjadi film. Dan, permintaan itu
terus berulang sampai sekarang.
Dulu awal-awal, sih, saya jawab, “Doakan saja.”
Ya, siapa sih yang ga pengen tulisannya diangkat jadi film? Pasti ada kebanggaan tersendiri. Selain itu, dengan diadaptasi menjadi film, harapannya novel Akatsuki bisa menebar manfaat yang lebih luas.
Tapi, benarkah demikian?
Setelah saya pikir-pikir, terus merenung, saya pribadi, kok, keberatan kalau novel Akatsuki dijadikan film. Pertama dan terutama, sih, saya ga mau merusak imajinasi pembaca tentang tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Mending kalau yang main film dan cerita hasil adaptasinya nanti oke. Kalau ga? Wah, para pembaca bisa kecewa. Soalnya, mau ga mau, dan yang sering terjadi, film hasil adaptasi novel itu banyak mengalami perubahan dibanding cerita aslinya.
Selain alasan di atas, ada beberapa pertimbangan lain yang membuat saya keberatan kalau novel Akatsuki difilmkan. Salah satunya adalah adanya kontak fisik antara lawan jenis. Bisa saja, sih, adegan itu ditiadakan atau cari pemain yang di dunia nyata memang suami istri atau saudaraan (misalnya kakak-adik). Dengan begitu, insyaa Allah bersentuhan pun ga berdosa.
Eits, tapi, tunggu dulu! Masih ada masalah lain. Apa itu?
Cerita Akatsuki, kan, mengambil latar negara Jepang. Jadi, pasti butuh pemain wanita yang ga berjilbab. Soalnya, kalau semua pemain wanitanya dijilbabin, ga masuk akal, kan? Kalau begitu, nanti filmnya menampakkan aurat wanita, dong.
Atau …
okelah kita maksa semua pemainnya menutup aurat. Tapi, kan, tetap saja film itu
akan menampilkan tokoh utama wanita yang anggun, yang berarti mengekspos
kecantikan makhluk bernama wanita ke hadapan publik. Padahal, wanita itu indah
dan seharusnya ia terlindung di tempat yang aman. Bukan untuk dipamerkan dan
dinikmati sembarang orang.
Belum lagi kemungkinan terjadinya percampuran antara laki-laki dan perempuan di lokasi syuting. Wah, bisa bahaya!
Boleh jadi niat awal memfilmkan novel Akatsuki adalah untuk berdakwah, agar manfaatnya tersebar lebih luas dan bisa dirasakan banyak orang. Mulia sekali, kan?
Tapi, tujuan yang baik tidak lantas menghalalkan segala cara. Karena ingin membantu orang miskin, bukan berarti kita boleh mencuri. Tindakan Robin Hood yang tampak heroik itu jelas tidak bisa dibenarkan.
Begitu
pula dengan adaptasi novel Akatsuki ke dalam bentuk film. Niatan awalnya boleh
jadi mulia, tapi jika dengan cara membuat film, rasanya kok mudharat-nya malah
lebih besar daripada manfaatnya. Sebab, kemungkinan besar dan bahkan hampir
pasti sulit untuk menghindari alasan-alasan yang saya sampaikan di atas.
Karena itu, nikmatilah novel Akatsuki dalam bentuk aslinya. Semoga apa yang tertulis di dalamnya membawa kebaikan dan bermanfaat bagi para pembaca.